• Jumat, 29 September 2023

Ki Hadjar Dewantara, STOVIA dan Beasiswa

- Jumat, 14 Januari 2022 | 07:39 WIB
Lukisan Suwardi Suryaningrat karya Chris Lebeau 1919. (Risqi Fauzan Mustofa)
Lukisan Suwardi Suryaningrat karya Chris Lebeau 1919. (Risqi Fauzan Mustofa)

PANTURA TALK - Sebuah peristiwa sejarah lebih baik diceritakan secara utuh. Memang benar demikian, namun sejarah tersusun atas fragmen-fragmen yang terkadang luput atau tidak terekspose sehingga lenyap begitu saja.

Pada kali ini, kami mencoba menghadirkan fakta sejarah alasan yang menjadi latar belakang di keluarkannya Suwardi Suryaningrat dari STOVIA (School Fit Opleding Van Indische Artsen) - Sekolah Dokter Jawa.

Berikut ini kisah masa sekolah Suwardi Suryaningrat yang kami cuplik dari R. Bambang Widodo dalam Ki Hajar Dewantara, Pemikiran dan Perjuangannya.

Baca Juga: Jarang Terekspos, Inilah Sejarah Museum Sekolah Slawi

Sebagai keluarga bangsawan Suwardi Suryaningrat mendapat kesempatan belajar di Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Dasar Belanda 7 tahun di kampung Bintaran, Yogyakarta, yang tidak jauh dari tempat kediamannya.

Sesudah tamat Sekolah Dasar (1904), Suwardi Suryaningrat masuk Kweekshcool (Sekolah Guru) di Yogyakarta. Tidak lama kemudian datang dr. Wahidin Sudiro Husodo di Puro Pakualaman, beliau menanyakan siapa di antara putera-putera yang mau masuk STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Artsen) – Sekolah Dokter Jawa di Jakarta, mendapat beasiswa.

Gedung STOVIA Jakarta 1920.
Gedung STOVIA Jakarta 1920. (Risqi Fauzan Mustofa)

Suwardi Suryaningrat menerima tawaran itu dan menjadi mahasiswa STOVIA (1905-1910). Namun karena sakit selama 4 bulan, Suwardi Suryaningrat tidak naik kelas dan besiswanya dicabut.

Namun ada sinyalemen, alasan sakit sesungguhnya bukan satu-satunya sebab dicabutnya beasiswa, tetapi ada alasan politis dibalik itu. Pencabutan beasiswa dilakukan beberapa hari setelah Suwardi Suryaningrat mendeklamasikan sebuah sajak dalam suatu pertemuan.

Sajak itu menggambarkan keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodijo, seorang Panglima Perang P. Diponegoro. Sajak itu digubah oleh Multatuli dalam Bahasa Belanda yang sangat indah, dibawakan oleh Suwardi Suryaningrat dengan penghayatan penuh penjiwaan.

Pagi harinya, setelah pembacaan sajak itu, Suwardi Suryaningrat dipanggil Direktur STOVIA dan dimarahi habis-habisan. Beliau dituduh telah membangkitkan semangat memberontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda.

Tidak ada penyesalan bagi Suwardi Suryaningrat karena gagal menjadi dokter. Lapangan berjuang untuk rakyat bukan hanya sebagai dokter. Bidang jurnalistik, politik, dan pendidikan memberi peluang pula untuk berjuang.

Dari direktur STOVIA, Suwardi Suryaningrat mendapat Surat Keterangan Istimewa atas kepandaiannya berbahasa Belanda. Oleh karena itu, meski dikeluarkan dari STOVIA bernuansa hukuman, dengan senang hati dan penuh kebanggaan Suwardi Suryaningrat menerimanya sebagai konsekuensi dari sebuah perjuangan.

Dengan penuh haru tetapi membanggakan, teman-temannya seperti dr. Cipto Mangunkusumo, Sutomo, Suradji Tirtonegoro melepas Suwardi Suryaningrat meninggalkan STOVIA.

Halaman:

Editor: Risqi Fauzan Mustofa

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Masih Kokoh, Pondasi Kuno Peninggalan Zaman Belanda

Kamis, 21 September 2023 | 14:46 WIB

Melihat Indahnya Desa Tuwel di Tahun 1930an

Sabtu, 1 Juli 2023 | 13:59 WIB

Penampakan Sebuah Situs Bersejarah di Pemakaman Umum

Jumat, 20 Januari 2023 | 17:33 WIB

Peran Tokoh-tokoh Nasional Kemerdekaan Indonesia

Senin, 26 Desember 2022 | 08:23 WIB
X